Home » Kongkow » Tahukah Kamu » Guru Pintar...Untuk diri Sendiri vs untuk Orang Lain. Anda Termasuk yang Mana ?

Guru Pintar...Untuk diri Sendiri vs untuk Orang Lain. Anda Termasuk yang Mana ?

- Senin, 12 Februari 2018 | 14:00 WIB
Guru Pintar...Untuk diri Sendiri vs untuk Orang Lain. Anda Termasuk yang Mana ?

Menjadi guru bukanlah hal yang mudah. Begitu banyak yang harus dipelajari dan diperdalam ilmunya agar pengetahuan itu semakin berkembang dan tak jalan di tempat. Guru tak boleh gaptek, guru tak boleh bodoh daripada murid, guru tak boleh ketinggalan zaman, guru tak boleh kuper dan masih banyak lagi larangan yang harus dipatuhi seorang guru. Intinya syarat menjadi guru tak cukup pintar semata melainkan juga harus bisa membaur akan kehidupan nyata.

Saya tertarik mengangkat kenyataan yang ada di lingkungan guru saat ini. Rasanya tulisan ini ingin Saya publikasikan di akun facebook Saya. Namun ada rasa tak enak hati jika tulisan ini dibaca rekan-rekan guru seperjuangan, guru-guru dan dosen-dosen Saya. jadi sebagai pengganti biarlah Saya menuliskan adanya kisah tersebut di blog tercinta ini.

Baiklah, mengapa judul tulisan Saya ini (mungkin) begitu menyentil orang-orang yang berstatus pendidik dan pengajar? Karena ini pengalaman, kenyataan dan kejadian yang pernah Saya alami. Saya pernah mengenyam bangku sekolah selama 12 tahun (sebenarnya 13 tahun sih ditambah 1 tahun TK, hehe..) dan mengemut bangku kuliah selama 4 tahun. Itu berarti selama 17 tahun sudah banyak macam dan tipe pengajar dan pendidik yang Saya perhatikan. Terus terang, Saya adalah tipe yang senang mengamati orang lain terutama guru dan orang tua Saya yang menjabat sebagai guru sepanjang hayat Saya. Saya senang melihat gaya dan cara mereka mengajari dan mendidik Saya dan Saya belajar dari mereka. Hal-hal yang baik selalu Saya kenang dan hal-hal yang buruk cukup Saya simpan.

Tulisan ini hanya untuk menyatakan bahwa diantara sekian guru yang pernah Saya temui dan mungkin kita temui, ada guru yang bertipe guru pintar hanya untuk dirinya sendiri dan pintar untuk orang lain. Hal ini seolah mengingatkan Saya akan pelajaran Agama, perbedaan Nabi dan Rasul. Dahulu, guru PAI Saya mengajarkan bahwa bedanya Nabi dan Rasul adalah jika Nabi itu menerima wahyu untuk dirinya sendiri sementara Rasul menerima wahyu untuk dirinya sendiri dan disebarkan kepada ummat.

Sekali lagi jangan menyalahartikan arti “guru pintar” dalam hal ini. Guru pintar adalah guru yang tak hanya pintar dalam bidang ilmu yang beliau kuasai melainkan memiliki wawasan luas akan bidang di luar keahliannya. Guru yang pintar untuk dirinya sendiri biasanya adalah guru yang enggan untuk berbagi. Beliau memiliki ilmu dan pengetahuan tapi ilmu dan pengetahuan itu hanya untuk beliau seorang tanpa merasa senang jika ilmu tersebut dibagikan kepada orang lain. Sementara guru yang pintar untuk orang lain adalah guru yang rajin berbagi kisah, ilmu dan pengetahuan baik yang sudah maupun yang belum diketahui muridnya. Tujuan mengulas yang sudah diketahui adalah untuk mengingat kembali sehingga pengetahuan itu bisa tertanam lebih lama dalam memori sang murid dan tujuan menceritakan pengetahuan yang belum diketahui adalah untuk memberikan pencerahan kepada sang murid agar mengetahui sesuatu yang baru sekaligus menanam lebih lama dalam memori sang guru agar beliau tak pernah lupa akan hal tersebut.

Guru yang pintar untuk dirinya sendiri biasanya tak mau duduk bersama rekan seprofesi untuk mengulas dan berbagi pengalaman dan pengetahuan terbaru. Beliau merasa beliau tahu segalanya dan tak perlu pusing-pusing mendiskusikan yang sudah diketahui. Sementara guru yang pintar untuk orang lain akan gemar berbagi dan berbincang topik terbaru dalam dunia pendidikan dan pengajaran karena beliau merasa ilmu itu berkembang dan tak mentok sampai apa yang sudah beliau ketahui. Semakin banyak beliau tahu, semakin beliau sadar bahwa beliau masih harus belajar dan yang sudah diketahui belum ada apa-apanya. Sungguh berbeda bukan?

Menurut Saya, ini berdasarkan pengalaman pribadi Saya ya, ciri guru yang pintar untuk diri sendiri yang pertama adalah guru yang jika ditanyakan suatu materi beliau akan menjawab dengan malas-malasan dengan maksud enggan menjawab pertanyaan tersebut. Atau yang paling sadis adalah jika beliau menjawab “Cari aja di internet, googling dong hari gini kok kurang inisiatif”. Mungkin pernyataan tersebut benar adanya, namun alangkah berwibawanya jika sang guru bisa menyampaikannya lebih manusiawi. Itu alasan tidak mau memberitahu atau mengalihkan bahwa beliau sendiri tidak tahu? Entahlah, Saya tak mau memilih.

Ada baiknya jika guru tak tahu jawaban akan pertanyaan sang murid, sang guru menyatakan yang sesungguhnya. Kenapa, gengsi? Hari gini masih gengsi, plis deh..hehe.. Wajar adanya jika murid zaman sekarang lebih pintar dan maju dibanding gurunya. IPTEK sudah berkembang dan segala sesuatu sungguh amat gampang untuk diperoleh. Jadi mengapa harus gengsi? Guru juga manusia bukan? Tak luput dari salah dan ketidaktahuan. Lagian tidak baik menyimpan ilmu sendiri, dosa lho. Cobalah untuk membantu mereka mencari jalan keluarnya. Mungkin lewat internet agar mereka lebih berkembang namun katakan secara terdidik. Buktikan guru itu terdidik dan terpelajar bukan sok pintar apalagi arogan.

Ciri kedua adalah guru yang hanya meninggalkan tugas untuk dikerjakan oleh muridnya. Sangat boleh jika guru memberikan tugas terhadap sesuatu yang sudah beliau ajarkan sebagai bagian dari penguatan akan materi yang sudah dijelaskan. Namun alangkah pintar untuk dirinya sendiri jika sang guru tersebut hanya menyuruh murid membaca dan menjawab soal yang diberikan apalagi sampai disuruh presentasi di depan kelas. Sisi positifnya, hal tersebut sangat inovatif karena bisa meningkatkan kreatifitas murid dan mengembangkan konsep “autonomous learning”. Namun, ada baiknya jika sebelum para murid berkreasi sendiri, sang guru berbagi sedikit saja kulit-kulit materi yang akan dibahas.

Tanpa guru sadari, ada sebagian murid yang berpikir begini lho “udah dijelasin aja masih susah apalagi belum dijelasin gini, tau deh mau ngapain. Gajebo..”. Nah, katanya guru itu tak hanya mengajar tapi juga harus mendidik. Kalau karakter mereka masih seperti itu, lalu dimana peran keberhasilan mendidik tersebut? Bukankah hampir dari kita pasti setuju jika guru yang baik akan melahirkan murid yang baik juga. Guru mana yang tak bangga muridnya menjadi orang pintar, berprilaku baik, bertutur indah dan menghasilkan amal jariyah untuk beliau. Jadi, ajari mereka terlebih dahulu lalu mereka akan bisa mengerjakan sendiri.

Ciri ketiga dan mungkin konyol, lagi-lagi ini menurut pengalaman pribadi Saya, adalah guru yang bersikap seenaknya dalam penilaian. Maksudnya begini, dalam sebuah ujian, entah itu quiz (ulangan harian/mingguan), ujian mid, ujian akhir dll (asal jangan UN yah, lagi males membahas UN yang tak ada ujungnya) ada guru yang tak membeberkan nilai kepada muridnya. Hal ini membuat sang murid penasaran dan bertanya-tanya akan nilai yang mereka dapatkan. Tahu-tahunya nilai yang diperoleh bagus dan jelek. Entah dari mana asal nilai tersebut, sang guru hanya mencantumkan nilai akhir.

Mungkin maksud sang guru, jika nilai yang rendah dibeberkan pada sang murid maka akan menjatuhkan motivasi sang murid. Sementara nilai yang tinggi akan membuat murid berpuas diri. Sangat bagus pemikiran seperti itu, namun murid juga butuh penjelasan mengapa mereka memperoleh nilai tersebut. Tak peduli rendah atau tinggi nilai tersebut, yang terpenting adalah cara yang baik dalam penyampaiannya. Insya Allah, sang murid pun akan mengerti dan menerima jika mereka tahu apa dan mengapa demikian adanya. Suatu penilaian akan bernilai dan bermakna jika bisa menilik “washback” terhadap soal yang dikerjakan. Jadi harus ada alasan dalam setiap perbuatan.

Sekian tulisan yang Saya rangkai, sungguh tak ada niat untuk menyinggung beberapa pihak yang menjabat sebagai guru. Semoga tulisan ini tidak sia-sia. Mari kita bercermin di posisi guru manakah kita berada. Mari kita menjadi guru yang baik, bermanfaat dan bergelimang pahala hingga akhir hayat. Cara termudahnya adalah dengan menjadi guru yang pintar tidak hanya untuk diri sendiri melainkan untuk khalayak ramai. Guru yang pintar hanya untuk dirinya sendiri belum tentu pintar menurut orang lain dan sebaliknya guru yang pintar untuk orang lain sudah pasti pintar untuk dirinya sendiri. Terima kasih.

Cari Artikel Lainnya