Kemarin, 4 Desember 2016, Google Doodle memeringati kelahiran Pahlawan perempuan asal Cicalengka, Jawa Barat, Dewi Sartika.
Ia adalah pelopor sekolah perempuan pertama saat Belanda menjajah Indonesia. Tanpa kenal lelah, ia berjuang agar perempuan keluar dari ketertindasan.
Pemerintah Indonesia menganugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional atas jasa Raden Dewi Sartika pada tahun 1966 berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.252 Tahun 1966 tanggal 1 Desember 1966.
Dewi Sartika lahir pada tahun 1884. Ia meninggal pada 11 September 1947 di Tasikmalaya.
Dimakamkan di Cigagadon, Desa Rahayu, Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Kabupaten Bandung.
Dikutip dari Wikipedia, perjalanan Dewi Sartika yang berjuang melawan kebodohan khususnya di kalangan perempuan, dimulai sejak tahun 1902.
Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, ia mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan.
Beberapa materi pelajaran yang Dewi Sartika sampaikan seperti merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis dan sebagainya.
Pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka ‘Sakola Istri’ atau Sekolah Perempuan pertama se-Hindia Belanda.
Tenaga pengajarnya terdiri dari tiga orang. Selain ia sndiri, juga dibantu oleh dua orang saudara misannya yaitu Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid.
‘Sakola Istri’ pertama kali memiliki murid sebanyak 20 orang. Tempat belajar mereka yaitu ruangan pendopo kabupaten Bandung.
Setahun kemudian, ‘Sakola Istri’ menambah kelas dan pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru tersebut ini dibeli Dewi Sartika menggunakan uang uang tabungan pribadi dan bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909.
Pada tahun 1912, sudah berdiri sembilan ‘Sakola Istri’ di kota-kota kabupaten. Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Selain di Bandung, sekolah ini juga berdiri di Bukittinggi, yang didirikan oleh Encik Rama Saleh.
Pada September 1929, Dewi Sartika memeringati pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi".
Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia Belanda.
Pada 25 Juli 1939 ayahnya Raden Agah meninggal dunia. Ia tetap meneruskan usahanya mengasuh dan memimpin sekolahnya.
Namun sejak saat itu pula kesehatannya sendiri mulai menurun, karena bekerja terlalu berat.
Pada tahun 1942 terjadi pergantian pemerintahan di Indonesia. Pemerintahan Belanda berakhir dan digantikan oleh Pemerintahan Jepang. Raden Dewi Sartika harus banyak mencurahkan tenaga dan pikirannya demi kelangsungan hidup ”Sekolah Raden Dewi”.
Setelah Pemerintahan Jepang berakhir dan Kemerdekaan Indonesia di proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, ”Sekolah Raden Dewi” menghadapi kesulitan yang lebih besar.
Pada tahun 1947 Belanda melancarkan agresi militernya. Dewi Sartika terpaksa mengungsi ke Cineam.
Di Cineam, Ia jatuh sakit dan di rawat oleh dr. Sanitioso. Segala pertolongan diberikan untuk menyelamatkan jiwanya.
Pukul 09.00 tanggal 11 September 1947 Dewi Sartika meninggal dunia. Jenazahnya di kebumikan di Cineam.
Setelah kota Bandung aman kembali, gedung ”Sekolah Raden Dewi” dipinjam oleh pemerintah dan digunakan sebagai ”Sekolah Puteri”.
Kemudian sekolah itu diserahkan kepada ”Yayasan Dewi Sartika” dan dijadikan sebuah Sekolah Kepandaian Puteri.
Dewi Sartika lahir dari keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dengan Raden Somanagara.
Kedua orang tuanya menyekolahkan Dewi Sartika di sekolah Belanda. Setelah ayahnya wafat, Dewi Sartika diasuh oleh pamannya yang menjadi patih di Cicalengka.
Oleh pamannya itu, ia mendapatkan pengetahuan mengenai kebudayaan Sunda. Sementara wawasan kebudayaan Barat diperoleh dari seorang nyonya Asisten Residen berkebangsaan Belanda.
Saat kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, ia sering memeragakan praktik di sekolah, belajar baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan.
Setelah remaja, Dewi Sartika kembali lagi kepada ibunya di Bandung. Jiwanya yang telah dewasa semakin mengukuhkan untuk mewujudkan cita-citanya. Apalagi, keinginannya itu didorong oleh pamannya, Bupati Martanagara.
Meskipun memiliki keinginan yang sama dengan pamannya, tidak serta merta menjadi mudah. Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, sehingga Dewi mengalami kesulitan. Akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan mendirikan sekolah untuk perempuan.
Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, dari pernikahannya itu ia memiliki putra bernama R. Atot, yang merupakan Ketua Umum BIVB, sebuah klub sepak bola yang merupakan cikal bakal dari Persib Bandung.
Semoga jasa-jasa Dewi Sartika terus terpatri bagi pendidikan utamanya bagi perempuan Indonsia.