YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Yogyakarta dengan segala hiruk pikuk kotanya yang semakin membahana, menyimpan banyak cerita, mulai dari budaya hingga perfilmannya.
Adalah Bioskop Permata, salah satu pelopor tempat masyarakat Yogyakarta menghabiskan waktu untuk menonton film sejak zaman Belanda.
Namun, kini Bioskop Permata hanya tinggal nama, tempat itu sudah tujuh tahun tidak aktif memutar film-film dalam maupun luar negeri.
Terletak di Jalan Sultan Agung yang merupakan salah satu jalan utama di kota Yogyakarta, tidak serta merta membuat bioskop ini selalu ramai.
Hal ini terjadi karena persaingan dan pengelola bioskop Permata yang tidak melakukan inovasi atau kemajuan alat apapun pada bioskop ini. Alhasil, bioskop yang dibangun sejak zaman Belanda ini punah juga dan benar-benar tutup pada tahun 2012.
Padahal, jika dirunut masa lalunya, bioskop ini merupakan bioskop termegah dan teramai di Kota Yogyakarta. Ia mengalahkan beberapa pesaing lainnya seperti bioskop Presiden, Bioskop Indra, Mataram, Ratih, dan Widya yang ada di Kota Yogyakarta.
Namun seiring berjalannya waktu, bioskop-bioskop lainnya pun hilang termakan zaman dan tergantikan dengan bioskop-bioskop baru.
Salah satu kuncen atau penjaga tempat yang kini dikenal sebagai Eks-Bioskop Permata ini, Arif Hidayat (44) mengatakan, dahulu Bioskop Permata memiliki nama Bioskop Luxor.
Orang Belanda menamai tempat yang disebut-sebut sebagai bioskop pertama di Yogyakarta ini dengan nama tersebut.
“Namun, setelah merdeka ganti nama jadi Bioskop Permata,” kata Arif.
Arif juga bercerita banyak tentang bioskop yang berdiri tahun 1940-an ini. Ia mengatakan bahwa dahulu sebelum menjadi bioskop, tanah ini adalah kuburan Jawa kuno.
Ia mendapat cerita tersebut dari leluhur-leluhurnya. Arif sejak kecil memang tinggal di belakang bangunan bioskop itu. Tak mengherankan, ia tahu persis apapun kejadian yang ada pada Bioskop Permata.
“Dulu itu tahun 1970-1990an masih jaya-jayanya, trus akhir 1990an udah mulai menurun penontonnya, filmnya juga sedikit dan gak menarik, tambah lagi banyak bioskop baru dan lebih bagus yang muncul,” terang Arif sembari mengingat bahwa ia dulu sering bermain di sekitaran bioskop ketika masih anak-anak.
Bioskop Permata memang sudah tidak bisa lagi disebut bioskop, karena alat-alat proyektor film dan alat untuk memutar film lainnya pun sudah ditarik dan dikembalikan kepada pemilik.
Sebagai satu-satunya kuncen eks Bioskop Permata, tak heran jika Arif sempat mendengar orang-orang bercerita horor atau mistis di sekitar bioskop.
Di Indonesia, tempat yang sudah lama tidak digunakan atau ditinggalkan, memang identik dan menarik untuk disisipi cerita-cerita mistis.
“Pernah denger, dulu ada tukang becak yang dikerjai wanita yang ternyata dhemit atau hantu dalam bahasa Indonesia, minta dianterin ke kuburan,” kata Arif sembari mengingat cerita tersebut yang sudah terlanjur fenomenal hingga saat ini.
Pada tahun 2012, Bioskop Permata benar-benar menutup mata dalam aktivitas perbioskopan. Kala itu, ketika akhir senjakala, pengunjung yang datang untuk menonton hanya sekitar tiga sampai lima orang saja.
Sungguh ironis, mengingat bioskop yang pernah berjaya dan masih eksis sekitar tahun 1990-an, justru mati di tahun 2000-an, hanya butuh waktu dua dekade.
Namun, kini masyarakat tak perlu risau, khususnya bagi pencinta sejarah dan dunia perfilman Indonesia. Rencananya, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemda DIY) melalui DInas Kebudayaan (Disbud) DIY melakukan pemugaran bangunan cagar budaya eks Bioskop Permata ini. Bekas salah satu gedung bioskop yang legendaris ini disebut-sebut akan menjadi Pusat Perfilman di DIY.
Jadi, siap-siap saja untuk menikmati kembali masa-masa jaya dan indah bersama Bioskop Permata. Tentunya, memori-memori itu akan selalu diingat, bahwa Indonesia khususnya Yogyakarta pernah punya bioskop termegah dan termewah hingga berpuluh-puluh tahun lamanya.