Bagi masyarakat Indonesia, lebaran merupakan momen yang istimewa. Lebaran menjadi salah satu sarana masyarakat untuk saling bersilaturahmi dan saling memaafkan. Kumpul dengan keluarga, menyantap hidangan khas lebaran, dan melakukan tradisi khas lebaran, menjadikannya selalu dinanti setiap tahunnya.
Tahukah Anda daerah-daerah yang memiliki tradisi unik untuk memeriahkan hari lebaran?
Setiap daerah memiliki tradisi lebaran yang berbeda-beda. Tradisi tersebut biasanya sudah ada secara turun temurun. Masyarakat sekarang melakukan tradisi tersebut lebih condong untuk melestarikan kebudayaan setempat.
Di Gresik, Jawa Timur, menjelang lebaran ada sebuah tradisi yang namanya “Pasar Bandeng”.
Pasar bandeng awalnya dicetuskan oleh Sunan Giri dengan tujuan untuk meningkatkan perekonimian masyarakat setempat. Tradisi ini dilakukan dua hari sebelum Hari Raya Idul Fitri. Tradisi ini diisi dengan acara lelang bandeng, kuis yang diikuti anak - anak sampai orang dewasa, serta perlombaan yang berhadiah ikan bandeng.
Di Jember, Jawa Timur, terdapat tradisi “Pegon Ketupat”. Pegon ketupat yaitu lomba kendaraan tradisional dengan tenaga sapi yang dihiasi ornamen - ornamen khas lebaran seperti janur dan ketupat. Tradisi ini diikuti oleh para petani maupun masyarakat umum.
Di Pantai Utara, Pasuruan, Jawa Timur, terdapat tradisi “Ski Lot”. Ski lot merupakan kegitan berseluncur di atas lumpur dan celot (mandi lumpur) di tambak menggunakan papan seluncur. Biasanya tradisi ini dilakukan hari ketujuh setelah lebaran. Tradisi ini selain sebagai hiburan, juga sebagai sarana silaturahmi antar warga.
Di Pontianak terdapat tradisi “Meriam Karbit”.
Tradisi ini dilakukan dengan cara menyalakan meriam-meriam besar yang terbuat dari bambu dan di letakkan di pingir Sungai Kapuas. Tradisi ini biasanya dilakakukan saat malam takbiran hingga dua hari setelah lebaran. Selain untuk memeriahkan malam takbiran, tradisi ini juga meningkatkan daya tarik wisata di Pontianak.
Di Gorontalo terdapat tradisi “Tumbilotohe”.
Tumbilotohe yaitu tradisi memasang lampu di halaman rumah dan sepanjang jalan menuju tempat ibadah secara sukarela. Tradisi ini digelar tiga hari sebelum Hari Raya Idul Fitri. Lampu dinyalahakan dari magrib sampai subuh. Secara simbolik, tradisi imi menunjukan kemenangan idul fitri di depan mata.
Di Bengkulu terdapat tradisi “Bakar Api Gunung”. Gunung api disini yaitu batok kelapa yang disusun menjulang tinggi seperti gunung, dan dibakar di tanah lapang. Tradisi ini dilakukan pada malam takbir. Setelah selesai acara, biasanya warga akan saling menghantarkan makanan ke tetangga atau sanak saudara. Tradisi ini bermakna memperkuat silaturahmi sekaligus sedekah.
Di Yogyakarta terdapat tradisi “Grebek Syawal”.
Tradisi ini sebagai lambang sedekah keluarga Keraton kepada warga Yogyakarta. Sedekah berupa hasil bumi yang disusun membentuk gunung yang disebut Gunung Lanang. Gunungan ini sebelumnya didoakan terlebih dahulu di Masjid Agung Kauman. Setelah sholat Ied gunungan diarak menuju alun-alun utara Yogyakarta. Warga yang telah menunggu berebut hasil bumi. Hasil bumi yang diambil dari gunungan bermakna keberkahan bagi yang mengambilnya.
Di Aceh terdapat tradisi “Meugang”. Meugang sendiri merupakan tradisi berkumpulnya warga di masjid untuk memasak daging dan menyantapnya bersama. Tradisi ini dilakukan tiga kali setiap tahunnya, yaitu menjelang puasa, Hari Raya Idul Fitri, dan Hari Raya Idul Adha. Selain disantap sendiri, dagingnya juga dibagikan kepada warga yang tidak mampu sebagai bentuk saling berbagi di bulan Ramadhan.
Di Belitung, terdapat tradisi “Bedulang”.
Bedulang adalah prosesi makan bersama dalam satu dulang yang terdiri dari empat orang duduk bersila dan saling berhadapan mengitari dulang yang berisi makanan dan dinikmati dengan tata cara dan etika tertentu. Dulang adalah nampan yang beralaskan serbet dan diututp dengan tudung saji. Tradisi ini biasanya dilakukan setelah bersilaturahni dan saling memafkan dengan sanak saudara.
Di Kotamabagu, Sulawesi Utara, terdapat tradisi bagi-bagi “Binarundak”. Binarundak adalah bambu berisi nasi jaha atau beras ketan dicampur santan dan jahe, dihiasi dengan daun pisang, lalu dibakar dengan sabut kelapa. Para pria bergotong royong bertugas membakar binarundak, sedangkan perempuan meyiapkan lauk pauk di rumah untuk perjamuan makan. Setelah matang, binarundak dibagikan merata kewarga dilanjutkan makan bersama, tidak lupa warga saling bermaaf-maafan untuk mempererat tali silaturahmi.