Kecerdasan emosional adalah sesuatu yang tidak dapat kita abaikan. Karena kecerdasan emosional itulah yang menghasilkan perasaan intuitif dan akal sehat.
Goleman menuliskan gagasan Gardner dalam bukunya Emotional Intelligence perihal konsep lama tentang IQ yang hanya mencakup kecakapan linguistik dan matematika. Keduanya tidak menentukan keberhasilan seseorang di kelasnya, di kampusnya atau bahkan dalam dunia kerjanya.
Kemudian Sternberg dan Salovey (ahli Psikologi terkemuka yang juga ikut mempopulerkan kecerdasan emosional) mengemukakan aspek kecerdasan yang lebih luas dan patut dirumuskan oleh manusia untuk mencapai kesuksesannya.
Yuk, simak kecakapan apa saja yang dapat kita asah untuk mengembangkan kecerdasan emosional!
Gardner mengemukakan bahwa mengenali emosi diri adalah sebuah dasar kecerdasan emosional. Kemampuan mencermati perasaan diri sendiri akan membawa kita dalam kepekaan terhadap apa yang tengah kita rasakan. Kepekaan tersebut akan mempengaruhi keputusan-keputusan yang harus kita ambil, mulai dari pekerjaan apa yang akan kita ambil dan siapa yang akan kita nikahi.
Jika kita tidak mengenali emosi diri sendiri, keputusan yang terproses lewat bagian neokorteks otak tidak terwarnai dengan kepekaan, baik diri sendiri maupun sosial, seperti penderita aleksitimia (tidak memiliki emosi). Mereka bukannya tidak memiliki emosi seperti yang diartikan menurut bahasa yunani-nya. Namun penderita aleksitimia kesulitan mengenali emosinya sendiri.
Ketika dia menangis dan mereka akan kelabakan ketika ditanya apa sebabnya mereka menangis.
Mereka sama sekali tidak menguasai keterampilan dasar kecerdasan emosional yaitu kesadaran diri, yaitu mengetahui apa yang dirasakan ketika emosi bergejolak dalam diri kita.
Nah, sudahkah kita mengenal dan menyadari emosi diri?
Menangani emosi (baik positif maupun negatif) yang tengah bergejolak dalam diri kita agar dapat terungkap dengan pas adalah kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri.
Orang yang gagal dalam mengelola emosi mereka (perasaan cemas, marah, tersinggung) akan terus menerus bertarung melawan perasaan negatif mereka. Sementara mereka yang pandai mengelola emosinya akan lebih cepat bangkit dari sebuah permasalahan yang menjatuhkan mereka.
Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Goleman bahwa menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal sangat penting dalam kaitannya untuk memberi perhatian, memotivasi diri sendiri, menguasai diri sendiri dan untuk berkreasi.
Memotivasi diri sendiri merupakan keunggulan emosional yang dapat membuat seseorang istimewa di tengah persaingan keras orang-orang yang memiliki keunggulan yang sama tingginya. Bedanya adalah tingkat ketahanan mereka.
Ketekunan mereka menghadapi berbagai ujian baik fisik maupun mental, serta kemampuan menghadapi kekecewaan hidup akan membentuk pribadi yang lebih tangguh dan unggul dalam berbagai bidang.
Orang-orang yang dapat memotivasi dirinya sendiri ini akan dapat mencapai tujuan/target hidupnya dengan lebih cepat dibanding orang-orang yang mengandalkan datangnya motivasi dari orang lain.
Goleman menyebutkan kemampuan mengenal emosi orang lain atau empati merupakan keterampilan bergaul yang juga bergantung pada kesadaran diri emosional. Orang-orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi atau yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain.
Sebagaimana yang sering terjadi dalam laporan neurologi bahwa perilaku-perilaku kejahatan dan ganjil termasuk dalam pertanda awal bahwa otaknya tidak memiliki basis berempati.
Sebuah laporan pada tahun 1975 meninjau beberapa kasus pasien yang menderita luka tertentu di wilayah kanan lobus frontal sehingga memiliki cacat yang aneh, yaitu mereka tidak mampu memahami pesan emosional dalam nada suara orang lain.
Jelas bahwa bagaimana seseorang bisa berlaku sangat jahat seperti psikopat, karena mereka tidak memiliki basis empati yang merupakan dasar dari kecerdasan emosional.
Seni membina hubungan dengan orang lain termasuk dalam kecerdasan emosional yang sangat penting dalam hidup. Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan pernah lepas dari orang lain.
Goleman mengungkapkan bahwa salah satu kunci kecakapan sosial adalah seberapa baik atau buruk orang mengungkapkan perasaannya sendiri pada orang lain, bagaimana dia mengorganisir kelompok, merundingkan solusi terhadap permasalahan, serta bagaimana dia dapat mendeteksi dan mempunyai pemahaman tentang perasaan orang lain (kepekaan sosial), motif dan keprihatinan orang lain.
Keterampilan-keterampilan tersebut dapat membuat hubungan dengan orang lain menjadi sangat baik dan menjadikan kita sebagai bintang dalam pergaulan.
Nah, tentu saja kemampuan orang berbeda-beda dalam wilayah-wilayah ini. Beberapa orang di antara kita mungkin terampil dalam mengendalikan emosi diri namun kerepotan meredam kemarahan orang lain.
Landasan di balik semua fakta ini tentu saja adalah bagian tubuh kita yang disebut saraf. Tapi sebagaimana penelitian Goleman pada berbagai jurnal ilmiah bahwa otak bersifat plastis (mudah dibentuk) dan terus menerus belajar.
Kekurangan dalam keterampilan emosional dapat kita perbaiki dan dapat terus kita kembangkan.
Jadi jangan berkecil hati dulu ketika kita tidak mempunya kelima hal di atas, yuk terus belajar!