Peringatan HUT Kemerdekaan RI tinggal menghitung hari. Seperti tahun-tahun sebelumnya, seluruh masyarakat Indonesia menyambut dengan gembira, termasuk para anggota paskibraka yang akan bertugas mengibarkan Sang Merah Putih 17 Agustus mendatang. Mereka begitu bersemangat mempersiapkan diri demi menunjukkan performa terbaiknya.
Namun, kondisi sebaliknya justru sedang dirasakan keluarga salah satu anggota paskibraka di Tangerang Selatan. Aurel, calon pengibar bendera merah putih, meninggal dunia saat akan berangkat latihan. Padahal, siswi kelas 11 ini nggak punya riwayat penyakit serius. Keluarga menduga Aurel jadi korban kekerasan yang dilakukan senior-seniornya.
Aurel, siswi kelas 11 SMA Islam Al Azhar BSD, meninggal pada hari Kamis (1/8), di kediaman orangtuanya saat akan berangkat latihan mengibarkan bendera merah putih. Tubuhnya tiba-tiba tumbang sesaat sebelum berangkat ke lokasi latihan. Seperti yang diwartakan Poskota News, Aurel merupakan anggota Paskibraka yang bertugas membawa baki bendera saat upacara 17 Agustus mendatang di tingkat Kota Tangerang.
Dari keterangan pihak keluarga, Aurel sebelumnya nggak punya riwayat penyakit serius. Tapi memang pada hari dia meninggal, kata ibunya, Aurel terlihat pucat dan lemas. Orangtua Aurel curiga kematian putrinya itu akibat dianiaya seniornya sendiri di diklat Paskibraka. Dugaan itu muncul karena Aurel pernah cerita ia dan teman-temannya ditampari seluruh kakak kelas wanita yang jumlahnya 9 orang.
Paman Aurel, Romi, juga menyebut kematian keponakannya itu terasa janggal, karena pada tubuh Aurel ditemukan bekas lebam-lebam.
Keluarga Aurel, terutama orangtuanya, berharap kasus perundungan ini bisa diusut tuntas dan pelaku diberi hukuman setimpal. Apalagi, kabar kematian Aurel ini sudah sampai ke telinga Wakil Walikota Tangerang Selatan, Benyamin Davnie, yang sehari setelah kejadia, ia langsung melayat ke rumah duka. Kesempatan itu ia abadikan lewat unggahan Instagramnya.
Kasus perundungan seperti yang diduga dialami Aurel ini bagaikan puncak gunung es. Yang berhasil terkuak mungkin hanya sebagian kecilnya. Terlebih di Indonesia, dimana senioritas di institusi pendidikan masih kental terasa. Yang senior merasa lebih superior sehingga merasa berhak menyiksa juniornya.
Budaya seperti ini kalau nggak benar-benar ada yang memutus, bukan nggak mungkin kejadian macam di atas bakal terus berulang. Semoga pemerintah dan penyelenggara pendidikan segera punya solusi konkret untuk masalah ini ya!