Seorang ibu di Surabaya, Siami, yang berusaha membongkar dugaan perbuatan curang di sekolah anaknya saat ujian nasional, justru dituding mencoreng nama baik sekolah dan diusir oleh wali murid lain dari rumahnya.
Oleh guru di sekolah itu, kata Siami, anak laki-lakinya yang cerdas diminta membocorkan hasil pekerjaannya kepada teman satu kelasnya. Siami pun meminta penjelasan dari pihak sekolah, tapi karena alasan yang diberikan berbelit-belit, Siami lalu melaporkan kejadian itu ke media massa setempat.
Meski dimusuhi banyak pihak, Siami mengaku tidak takut memperjuangkan apa yang diyakininya benar.
"Selama di rumah saya selalu meminta anak saya jujur, tapi di sekolah malah diajari untuk berbuat curang. Saya kecewa dan sedih," tutur Siami.
Sejumlah pihak termasuk Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Lukman Hakim Syarifudin dan Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal menyerukan agar kejujuran dan keberanian seperti yang ditunjukkan Siami, dihargai dan dibela.
Kasus contek massal di Surabaya ini mungkin bukan insiden terisolir karena di sejumlah daerah dilaporkan terjadi praktik serupa. Di Jakarta, Irma Lubis, orang tua siswa sebuah SDN mengadu ke Komisi Nasional Perlindungan Anak akhir bulan lalu. Anaknya, kata Irma, mengaku dipaksa guru menyebarkan sontekan jawaban ujian ke teman-teman sekelasnya.
"Dibuat kesepakatan bersama guru-gurunya untuk menutupi apa yang terjadi pada saat UN, tidak seorang pun boleh tahu apa yang terjadi pada saat UN. Terus mereka saling memberikan jawaban untuk saling membantu sesama temannya untuk bisa berhasil dan semua ini demi kebaikan kata gurunya," tutur Irma kepada BBC Indonesia.
Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal mengatakan dalam kasus kecurangan di Surabaya, tiga orang guru telah dikenai sanksi. Menurut Fasli, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dalam ujian nasional khususnya tingkat SD.
"Kita juga bertanya-tanya apa yang membuat guru demikian cemas sampai dia melakukan pembocoran itu padahal keputusan lulus, tingkat ambang nilai kelulusan, dan pelaksanaan ujian sekolah diserahkan penuh kepada sekolah," jelasnya.
Bagaimana pendapat Anda tentang kecurangan di sekolah-sekolah?
Apa yang membuat wali murid cenderung mengamini kecurangan di sekolah anak-anak mereka dan kurang mengapresiasi kejujuran?
Bagaimana seharusnya peran sekolah dan guru dalam menegakkan kejujuran?
Berikut sebagian pendapat yang telah masuk ke redaksi:
"Jangan salahkan orang tua dan guru. Cobalah tengok kebijakan pendidikan di negeri ini. Sebagai contoh kiat suatu daerah untuk mensukseskan Ujian Nasional, "Sukses Administrasi, Sukses Pelaksanaan dan Sukses Hasil". Banyak pihak hanya menyoroti "Sukses Hasil" saja. Ujung-ujungnya sekolah dimanapun berada akan berbuat "sebaik" mungkin agar sukses hasilnya. Entah dengan cara apapun dan hanya pihak sekolah yang "tahu". Kusdiyanto, Pemalang.
"Budaya malas bersusah, lalu cari jalan pintas dengan curang dan menghasut untuk cari pembenaran, juga karakter 'takut' gagal sangat umum. Itu semua perlu dibongkar. Yang terpenting, sejak kecil jangan ajarkan anak kita untuk takut apalagi takut pada 'kegagalan'. Tapi ajarkan untuk percaya diri pada usaha keras (belajar) dengan cara benar & menyenangkan." Sophia, Surabaya.
"Seharusnya jangan ada UN. Kalau ada kecurangan dalam UN jangan hanya guru yang disalahkan termasuk pejabat yang di atasnya, kepala sekolah, Kadis, bupati/wali kota sampai gubernur. Bagi guru tugasnya adalah mendidik bukan meluluskan. Kami tidak berkepentingan lulus tidaknya, secara politik bila ada sekolah yang muridnya tidak lulus 100% kepala sekolah, kepala dinas bisa dipecat oleh kepala daerah." Asaz, Bogor.
"Budaya pendidikan formal di tingkat dasar telah bergeser. Dimana kejahatan perilaku para pendidik yaitu guru-guru sekolah menjadi tidak terkendali, mengajarkan curang dalam proses ujian - berbisnis dengan para wali murid untuk pengadaan buku sekolah yang tidak bermutu - penyalahgunaan dana bantuan sekolah - pungutan-pungutan liar berkedok kepentingan sekolah dan lain-lain. Guru yang seharusnya menjadi panutan anak didik mengajarkan hal-hal yang bodoh dan konyol." Yadinata, Jakarta Timur.
"Budaya menyontek terjadi di jenjang SD, SMP dan SMA. Di SMA misalnya menyontek menggunakan teknologi ponsel. Teman-teman saya yang lulus UAN tahun ini sebagian besar hasil menyontek lewat sms (kunci jawaban didapat dari bandar, harganya jutaan rupiah), tak heran banyak yang mendapat angka 8. Begitu juga terjadi sewaktu saya SMP, teknik yang digunakan selalu ponsel. Banyak yang ketahuan tapi penjaga UAN dan sekolah menyembunyikannya dan tidak ditulis dalam berita acara. Aneh." Radhea Permata Dewi, Banjarbaru.
"Orang berbuat curang, mencuri, merampok dan lain-lain tentu ada berbagai sebab :1. Mau mudah dalam mendapatkan sesuatu yang diinginkan 2. Memang memiliki sifat mencuri 3. Memiliki sifat malas 4. Dihadapkan dengan sesuatu kesulitan dan mencari jalan keluar yang bisa dilakukan 5. Ada iming-iming. Kasus sekolah ini masuk kategori no 4, dan sudah tidak memiliki rasa takut, malu. Secara sadar sekolah melakukan dan didukung oleh orang tua, karena dihadapkan pada kesulitan akibat ketidakmampuan." Ari Budiono, Jakarta.
"Kecurangan yang terjadi di sekolah dilaksanakan secara sistematis dan terancana yang melibatkan kepala guru, kepala sekolah sampai ke tingkat lebih tinggi. Wali murid cenderung mempercayakan pendikan pada sekolah, ketika guru mempunyai kebijakan yang agak menyimpang wali murid pun kadang kurang memahami dan cenderung menyerahkannya pada sekolah. Peran sekolah/guru menegakkan kejujuran yaitu tugas guru bukan saja mengajar tetapi yang terpenting adalah mendidik." Maskuri, Cirebon.
"Anak adalah aset orangtua baik dunia dan paling penting untuk aset orang tua di akhirat kelak, ketika anak menjadi soleh do'anya akan diterima oleh Allah SWT jadi ajari anak menjadi anak yang jujur. Berlaku jujur akan menjadi lawan kecurangan. Orang jujur akan menang di sisi Allah SWT." Abu Umar, Jakarta.