Sekolah-sekolah yang menciptakan lingkungan berpikir ilmiah, akan membuat siswa semenjak dini terdorong suka bertanya, berpikir kritis dan suka melakukan percobaan-percobaan.
Selain itu, mereka juga lebih cakap dalam mengomunikasikan nalar berpikirnya, lebih suka membaca, menulis dan bahkan membuat model-model karya siswa sendiri, mengadopsi atau mengembangkan dari yang sudah ada.
Mengutip penelitian Rachel Goldman, Khundori Muhammad, Spesialis Pembelajaran Sekolah Dasar program PINTAR Tanoto Foundation Kaltim mengatakan bahwa penciptaan lingkungan semacam ini tak bisa dicapai dengan model pembelajaran ceramah, tapi pembelajaran aktif.
“Berdasarkan penelitian Goldman, baik siswa sekolah dasar maupun kelas menengah kebanyakan sebenarnya tak menyukai pembelajaran model ceramah. Metode pembelajaran yang lebih menarik adalah yang interaktif. Metode ini juga lebih menunjang penciptaan lingkungan yang berpikir ilmiah,” ujarnya.
Tanoto Foundation bersama Dinas Pendidikan dan Kemenag berusaha mendorong sekolah menciptakan suasana ilmiah di kelas dengan melatihkan guru metode pembelajaran aktif dengan pendekatan MIKIR (Mengalami, Interaksi, Komunikasi dan Refleksi). Salah satu yang sudah konsisten untuk melakukannya adalah ibu Kurnia Astuti, guru kelas IV SDN 003 Tenggarong, Kutai Kartanegara.
Untuk membuat siswa menjadi kritis dia awali dengan menumbuhkan kemampuan dan kebiasaan bertanya. Pada saat pembelajaran tentang daur hidup hewan. Bu Kurnia menyuruh siswa kelas empat yang diasuhnya membaca senyap terlebih dahulu bacaan dari internet yang sudah dia print.
Setelah selesai, ibu Kurnia membagi dadu pada para 8 kelompok siswa di kelas tersebut. Masing-masing kelompok siswa terdiri dari 4 – 5 orang. Kalau dilempar dan yang muncul dadu satu berarti kelompok harus menyusun pertanyaan dengan awalan apa, dadu dua siapa, tiga dimana, empat kapan, lima mengapa dan enam bagaimana, berdasarkan bacaan yang sudah dibaca.
“Kemampuan bertanya mereka menjadi makin terasah karena sering saya lakukan seperti ini. Mereka bermain sambil menyusun kalimat untuk menanyakan lebih jauh, kadang bahkan diluar teks,” ujar bu Kurnia. Kurnia berharap dengan model demikian, lama-lama siswa terbiasa membuat hipotesis.
Pertanyaan tersebut oleh ibu Kurnia kemudian dilempar ke siswa yang lain untuk dijawab. Fungsi ibu Kurnia adalah menguatkan jawaban yang dilakukan oleh siswa.
Melakukan Observasi dan Melaporkan
Pendidikan modern juga menuntut siswa tidak sekedar mengetahui, memahami dan menerapkan apa yang diketahuinya, tapi juga mampu menganalisis, mengevaluasi dan lebih jauh lagi mengkreasi. “Sejauh ini, model ceramah hanya membuat siswa pada tingkat mengetahui, tidak sampai pada analisis, evaluasi, apalagi mengkreasi, padahal era industry 4.0 yang segera hadir di hadapan kita butuh manusia-manusia kreatif” ujar Khundori.
Untuk mencapai kompetensi tersebut dalam pembelajaran tentang daur hewan, ibu Kurnia, meminta para siswa membawa jentik nyamuk, kucing dan beberapa hewan lain. Para siswa diminta langsung mengamati hewan tersebut sambil diajak membedakan antar siklus hidup nyamuk dan ikan. Anak-anak diajak untuk membedakan antara hewan yang tidak bermetamorfosis dan bermetamorfosis.
“Idealnya penelitian ini dilakukan beberapa hari, namun dengan cara membuat siswa mengamati, membuat pertanyaan dan mencoba menjawab sendiri, anak-anak dikondisikan untuk suka meneliti semenjak dini,” ujar Kurnia.
Untuk melatih kecerdasan motoriknya, ibu Kurnia juga meminta siswa menggambar hewan yang diamati. Mereka juga diminta melaporkan di depan kelas hasil pengamatan beserta gambar yang sudah mereka lukis. “Anak-anak saya biasakan juga tampil ke depan, karakter percaya diri penting untuk menghadapi persaingan hidup ke depan,” ujarnya.
Menurut Mustajib, Spesialis Komunikasi Tanoto Foundation Kaltim, tidak ada penemuan-penemuan besar, kecuali dihasilkan dari penelitian-penelitian. “Anak-anak yang semenjak dini dikondisikan untuk suka meneliti, besarnya akan lebih kreatif dan inovatif. Guru juga harus mampu membuat siswa berpikir secara logis selama mengamati dengan membuat pertanyaan-pertanyaan panduan yang mendorong siswa melakukan pengamatan lebih detail dan menemukan pengetahuan sendiri,” ujarnya.
Menurut Kurnia, siswa menjadi lebih antusias belajar dengan model yang ia terapkan sekarang, dibanding dengan model ceramah. “Sekolah memang harus menjadi Taman Siswa. Siswa belajar dengan bermain, tidak diceramahi dan itu yang saya sedang terapkan di kelas,” ujarnya bangga.
Semenjak bulan Oktober 2018, Tanoto Foundation bersama Dinas Pendidikan dan Kemenag Balikpapan dan Kutai Kartanegara, Universitas Mulawarman dan IAIN Samarinda telah melatih pendidik di 66 sekolah mengenal pembelajaran dengan pendekatan MIKIR.