"Guru dituntut nurani profesi untuk mendidik muridnya meskipun kadang dilakukan dengan keras."
Guru baik itu biasa, guru jahat itu terlaknat. Guru jujur itu harus, guru malas harus diberantas. Begitulah ungkapan-ungkapan sadis yang sering terdengar. Guru dianggap sebagai makhluk bak malaikat yang mesti baik dan tidak boleh nakal. Jika berperilaku sedikit galak alias tegas, sontak caci maki dan umpatan diterima. Dan guru lagi-lagi mesti menanggung malu jika ia diberi hukuman masyarakat dan atau atasannya.
Mendidik itu tidak mudah. Mendidik memerlukan banyak strategi karena anak didik berasal dari keluarga yang heterogen. Janganlah guru disumpah serapah jika melakukan sesuatu yang memang diperlukan. Dan langkah itu adalah tindakan keras alias disiplin.
Beberapa hari lalu, saya menerima keluhan dari seorang kawan. Beliau berprofesi sebagai guru. Kawanku dihukum alias diberi sanksi oleh atasannya karena melakukan tindakan yang dianggap keterlaluan. Apakah tindakan kawan itu? Ternyata kawanku itu menjewer anak didiknya yang nakal. Karena tidak menerima perlakuan guru terhadapnya, orang tua si murid melabrak kepala sekolah. Maka, kawanku pun diberi sanksi oleh atasannya.
Kabar itu mungkin bukanlah berita baru. Kekerasan di dunia pendidikan memang kadang diperlukan. Orang yang tidak berkecimpung di dunia pendidikan sering menganggap bahwa mendidik ya cukup dengan duduk manis di kelas sembari membaca buku. Ketika pembelajaran sedang berlangsung, anak didik mesti dibimbing guru.
Namanya saja anak-anak. Mereka sering berperilaku dan bertindak kebablasan. Mereka suka bercerita ketika guru menerangkan pelajaran. Mereka suka berteriak-teriak ketika guru membahas topic bahasan. Mereka sering berpamitan ke belakang ketika ulangan sedang berlangsung. Mereka tidak mengenakan seragam ketika upacara dilakukan. Mereka suka membolos sekolah ketika pertemuan hamper mendekati akhir tahun.
Ketika menghadapi situasi demikian, guru dituntut untuk menyelesaikan beragam pekerjaan. Sebagai pendidik, jiwanya terpanggil untuk mengatasi problema yang dihadapinya. Jika masalah itu bias diselesaikan secara baik-baik, guru pun bersikap bijak. Anak didiknya langsung dibina. Namun, guru terpaksa menggunakan cara keras jika anak didiknya memang sulit diatur. Lalu, apakah cara itu salah?
Mendidik anak memerlukan strategi: dipaksa, terpaksa, terbiasa, dan terbudaya. Anak-anak memang perlu dipaksa untuk menaati peraturan dan atau tata tertib. Hendaknya pemaksaan itu tidak diartikan sebagai tindakan kekerasan kepada anak. Ibarat orang sakit, obat memang terasa pahit. Namun, obat itu justru akan memberikan kesembuhan.
Meskipun terpaksa, anak didik pun melakukan perintah gurunya. Anak didik akan mempraktikkan tuntunan guru seraya menggerutu. Itu adalah hal biasa karena memang belum terbiasa. Ketika keterpaksaan itu terus dilakukan, kesadaran pun akan diperoleh. Anak didik akan mulai terbiasa dengan keterpaksaan itu. Pada akhirnya, anak didik pun terbiasa melakukan tuntunan guru. Dan selanjutnya, tuntunan guru itu menjadi budaya baik.
Jadi, apakah guru salah jika terpaksa sesekali menjewer anak didiknya? Hendaknya orang tua bersikap bijak karena anaknya memang berperilaku nakal. Orang tua hendaknya bersikap arif karena ia sudah menitipkan anaknya ke sekolah. Jika memang anaknya tidak boleh dijewer, didik saja anaknya di rumah. Guru termotivasi untuk memberikan layanan tegas dan keras karena anak didiknya juga sulit diatur. Jika orang tua terus melakukan terror seraya berpendapat bahwa perilaku keras dianggap tindakan kekerasan kepada anak, guru pun enggan melakukan tindakan keras. Maka, jangan heran jika anak didik berperilaku keras meskipun sudah dididik guru di sekolah.
Di rumah, anak tidak dididik dengan baik, di sekolah pun anak tidak dididik dengan baik. Jika anak gagal meraih cita-citanya, janganlah orang tua menyalahkan guru karena orang tua justru menjadi penghambat upaya mendidik anaknya. Sungguh kasihan anak yang tidak mendapatkan layanan pendidikan secara proporsional karena sikap orang tuanya yang berlebih-lebihan.