Home » Kongkow » kongkow » Apa Yang Salah Dengan Generasi Muda Kita?

Apa Yang Salah Dengan Generasi Muda Kita?

- Senin, 19 Februari 2018 | 14:00 WIB
Apa Yang Salah Dengan Generasi Muda Kita?

Mungkin ini yang disebut oleh dosen saya dengan istilah ilmu cocoklogi.Selang beberapa hari lalu tepatnya pada 6 februari bertepatan dengan hari lahirnya Pramoedya Ananta Toer-tokoh yang diakui “ketokohannya” dalam dunia kesusastraan, tidak hanya di Indonesia, pun oleh bangsa-bangsa asing-bersamaan itu pula inspirasi untuk kembali menulis setelah sebelumnya mandek kembali saya dapatkan.

Kebetulan bukan? Apa yang salah dengan generasi muda kita? Ada apa dengan perilaku remaja-remaja negeri ini yang kian hari justru malah membuat hati semakin miris? Kurang lebih begitu pertanyaan yang terlintas di benak pribadi mengawali ilham saya untuk membuat tulisan ini.

Sudah tentu bukan hal baru, belakangan ini media Indonesia kembali dihebohkan dengan kasus penganiyaan berujung hilangnya nyawa seorang guru oleh muridnya sendiri, di Sampang Madura. Peristiwa ini menambah catatan gelap kasus kenakalan remaja, yang memang menurut statistik pertumbuhanya tiap tahun bisa dibilang cukup “subur”.

Kenakalan Remaja, bawaan lahir atau pengaruh lingkungan?

Mengutip penjelasan para psikolog, fenomena kenakalan remaja dapat disimpulkan berakar dari dua faktor penting yang mempengaruhinya, internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud oleh psikolog di sini ialah faktor yang datang dari dalam diri remaja itu sendiri, yang kemudian mendorong seorang remaja untuk berperilaku seperti demikian.

Siegmund Freud memperkenalkan istilah thanatos, sebagai dorongan agresi yang menjadi dalang dari perilaku tersebut. Freud mengemukakan bahwa perilaku tiap-tiap indvidu, tidak lepas dari pengaruh struktur diri manusia yang dibentuk oleh tiga komponen dasar, ID, EGO, dan, SUPEREGO. ID merupakan insting/naluri yang dimiliki oleh manusia. ID terbentuk dari dua dorongan yang dinamakan dengan eros dan thanatos.

Eros memberikan stimulan kepada diri untuk memperoleh hal-hal positif yang dapat menjaga kelestarian hidup (seperti makan, dan berkembangbiak), sedangkan thanatos mendorong kepada hal-hal negatif atau yang bersifat agresi. Bahasa lainnya dalam teori psikoanalisis, eros diistilahkan sebagai dorongan hidup, dan thanatos sebagai dorongan mati.

Mekanisme kerja ID sendiri dikontrol oleh EGO (Rasionalitas) dan SUPEREGO (sistem nilai ataupun norma). Bila EGO dan SUPEREGO, tidak berfungsi dengan baik, walhasil pengaruh ID yang dominan akan melahirkan karakteristik manusia yang berperilaku hewani karena hanya bertumpu pada dorongan biologis/ID , tanpa dibarengi pertimbangan akal/EGO dan nilai-nilai kemanusiaan/SUPEREGO.

Lebih-lebih bila dorongan ID tadi didominasi oleh thanatos. Dari sini untuk sementara dipahami bahwa potensi seorang remaja untuk melakukan tindakan-tindakan negatif bila ditinjau dari faktor internalnya memiliki peluang 50:50. Ini dikarenakan sruktur diri (ID, EGO, SUPEREGO) yang dimiliki masing-masing individu memang memungkinkan mereka untuk berperilaku baik ataupun buruk. Bila dibandingkan dari sudut pandang teologis-khususnya teologi Islam-argumentasi di atas bisa juga dibenarkan.

Wahyu juga melegitimasi bahwa manusia memang diciptakan dengan sisi dalamnya, yang memiliki potensi untuk dapat menangkap makna baik dan buruk serta mendorong manusia untuk melakukan kebaikan dan keburukan (QS. al-Syams/91:7-8). Bahkan menurut keterangan yang diberikan oleh mufasir kontemporer, Muhammad Abduh, al-Qur’an pula mengisyaratkan bahwa dorongan positif/kebaikan yang terdapat pada diri manusia sejatinya lebih kuat, yang pada gilirannya mengaksentuasikan makna bahwa manusia memang diciptakan Tuhan untuk melakukan hal-hal positif (QS. al-Baqarah/2: 286).

Jika benar begitu lantas apa yang menyebabkan dominasi naluri negatif itu kemudian menang dan memprakasai perilaku-perilaku kurang terpuji yang ditampilkan generasi-generasi muda itu? Confusius seorang filsuf cina mengemukakan bahwa setiap manusia terlahir dengan potensi alami yang condong untuk mencintai kebaikan.

Akan tetapi jika potensi ini tidak ditopang dengan pendidikan dan sosialisasi yang benar, maka manusia akan berubah menjadi hewan atau bahkan jauh lebih buruk dari pada itu. Di sinilah faktor-faktor eksternal yang saya singgung di awal tadi memainkan perannya. Keluarga, sekolah, serta ekosistem sosial sebagai tempat tumbuh kembang remaja memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap pembentukkan karakter mereka.

Mereka bisa tampil menjadi pribadi dengan budi pekerti luhur bak malaikat, atau pula bisa lebih ganas dari pada hewan, tergantung dari kondisi sosial yang mereka hadapi. Tidak heran bila pakar menyebutkan bahwa fenomena kenakalan remaja, sebenarnya bermula dari rentetan masalah sosial yang saling berkaitan satu sama lain. Lingkungan keluarga yang tidak harmonis, kurangnya perhatian orang tua, pendidikan nilai-nilai dan norma yang kurang memadai baik oleh keluarga maupun sekolah, bisa menjadi pemicu dari fenomena tersebut.

Belum lagi jika ditambah dengan lingkungan pergaulannya yang kurang sehat. Di sisi lain di tengah-tengah arus globalisasi, kemajuan teknologi tidak sedikit pula ikut menginjeksi tradisi-tradisi negatif ke dalam pikiran anak-anak. Bayangkan bila tiap hari melalui media, anak-anak kita dipertontonkan dengan budaya-budaya yang tidak etis seperti seks bebas, narkoba, kekerasan dan lain-lain.

Hal-hal inilah yang kemudian menarik sisi gelap/thanatos dalam diri anak-anak itu kemudian naik ke permukaan. Sampai di sini saya kemudian berpikir, apa jangan-jangan remaja-remaja itu sendiri sebenarnya adalah korban  dari keganasan realitas hidup, korban dari berbagai ketimpangan-ketimpangan sosial yang kita ciptakan sendiri. Wallahu a’lam

Cari Artikel Lainnya