Penerimaan Peserta Didik Baru (PPBD) tahun 2018 yang berlangsung bulan Juli ini, bikin heboh orang seantero Indonesia. Buat yang belum tahu, sistem zonasi yang mulai diberlakukan tahun ini mewajibkan sekolah untuk hanya menerima murid yang tinggal di zona terdekat dari lokasi sekolahnya. Lebih tepatnya, minimal 90% murid dari keseluruhan daya tampungnya. Jadi singkatnya, sekarang letak rumahmu jauh lebih berpengaruh menentukan pilihan sekolahmu dibandingkan bagus atau tidaknya nilai ujian nasional.
Sebagai negara yang sebelumnya selalu terobsesi sama nilai ujian nasional, perubahan ini jelas membuat banyak orang kaget dan kelimpungan. Bahkan banyak yang tidak terima. Banyak siswa (dan orangtuanya) yang ingin masuk ke sekolah unggulan meskipun letaknya di kabupaten yang berbeda. Curhatan dari masyarakat yang merasa sistem ini nggak adil juga muncul di media sosial, termasuk kolom komentar akun Instagram
Meski menimbulkan polemik hebat di Indonesia, sistem zonasi sekolah ini sebenarnya cukup umum di negara-negara lain. Di Amerika Serikat sampai negara Asia seperti Jepang, murid-muridnya bersekolah di sekolah yang terdekat dari rumahnya sehingga bisa jalan kaki atau pakai bus sekolah tiap pagi. Tapi sistem zonasi itu dapat berjalan dengan ‘damai’ karena negara-negara di atas memiliki sekolah yang kualitasnya rata-rata sama di seluruh wilayahnya. Kondisi itu jelas belum bisa ditemukan di Indonesia.
Mau tahu ketidaksiapan apa lagi yang menyebabkan sistem zonasi jadi kontroversi besar di Indonesia?
Sekolah disebut unggulan karena tiga faktor yaitu fasilitas sekolah, kualitas guru, dan input siswa. Sistem zonasi ini dirancang supaya input siswa lebih beragam dan merata di setiap sekolah. Istilah sekolah unggulan pun bisa mulai disingkirkan karena hal ini. Siswa pun juga bisa lebih mudah ke sekolah karena jarak yang tidak terlalu jauh. Tentu aja ini membuat lebih hemat ongkos dan waktu.
Walaupun input siswa udah dibuat seragam, tapi kalau kualitas sekolahnya belum sama rata sih sama aja bohong. Belum ada standar fasilitas sekolah yang jelas. Misalnya aja, belum semua sekolah punya laboratorium yang memadai, ruang kelas yang setara nyamannya, dan fasilitas-fasilitas lainnya.
Mendekati masa penerimaan peserta didik baru, permintaan terhadap Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) membeludak. Hal ini karena ada kewajiban bahwa sekolah peserta PPBD harus menerima siswa dengan SKTM minimal 20% dari daya tampungnya, seperti tertuang dalam Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018.
Kebijakan itu membuat banyak orang yang pura-pura miskin untuk mendapatkan SKTM. Misalnya aja di Jawa Tengah, setelah dilakukan survey, ternyata pemilik SKTM ini nggak bisa disebut dari kalangan tidak mampu. Mereka memiliki kendaraan bermotor lebih dari satu, rumah bagus yang berkeramik, dan perabot yang mewah. Akhirnya terjadi pencoretan nama siswa yang nggak layak mendapat SKTM tersebut.
Keberadaan SKTM juga dirasa nggak adil untuk masyarakat. Ada yang merasa sudah belajar keras demi mendapat nilai Ujian Nasional (UN) yang maksimal tapi kalah dengan pemegang SKTM saat mendaftar sekolah.
Demi bisa sekolah di tempat yang diinginkan, segala cara mulai dilakukan, salah satunya adalah dengan melakukan migrasi Kartu Keluarga (KK). KK ini menjadi salah satu syarat yang dilampirkan untuk PPBD untuk mengetahui tempat tinggal anak tersebut. Dikutip dari Kompas, seorang anak dipindahkan KK-nya dari Cibinong, Bogor, menumpang KK saudaranya yang tinggal di Kramat Jati, Jakarta Timur, agar bisa bersekolah di Jakarta Timur.
Ada 12 SMP Negeri di Kota Solo yang kekurangan siswa. Totalnya, ada 936 kursi kosong yang tersebar di 12 SMP tersebut. Hal ini baru pertama kali terjadi sepanjang penerimaan siswa baru. Biasanya, kuota selalu habis dan semua kursi selalu terisi. Penyebabnya adalah aturan zonasi yang tidak memungkinkan sekolah menerima siswa dari luar zona yang ditentukan. Padahal, calon siswa yang tinggal di zona tersebut terbatas.
Kejadian tersebut menunjukkan bahwa ternyata persebaran sekolah masih belum merata dengan jumlah calon siswa di tiap zona. Ada sekolah yang peminatnya membeludak, tapi ada juga sekolah yang sampai kekurangan siswa.
Ah, nggak usah belajar deh buat UN. Rumah gue deket kok sama SMA Negeri. Pasti nanti gue sekolahnya disana.
Ini nih dampak negatif dari sistem zonasi yaitu bisa bikin siswa jadi males belajar karena pasti bakal bisa sekolah karena jarak rumah dengan sekolah dekat. Lokasi rumah jadi tameng sekaligus senjata buat mereka malas sekolah. Nggak ada motivasi buat belajar rajin demi mendapatkan sekolah yang diinginkan.
Wah kalau sudah begini, pemerintah mungkin memang harus kembali mengevaluasi kebijakan sistem zonasi. Terutama untuk pelaksanaan tahun depan. Biar polemik PPDB tahun ini tidak terulang kembali~