Setiap hari, penyebaran virus Corona semakin meluas. Tidak ada kepastikan kapan ini akan berakhir. Namun, dengan selalu menaati protokol kesehatan menjadi salah satu langkah untuk menekan angka penularannya.
mantrasukabumi.pikiran-rakyat.com
Menurut dara yang dihimpun dari Worldmeters, pada Minggu 11 Oktober 2020 malam, jumlah kasus positif Covid-19 di seluruh dunia mencapai 37.533.096. Di antaranya, 28.159.072 orang sembuh, 1.1.078.444 meninggal dunia. Saat ini, seluruh dunia sedang berupaya menekan angka kasus Covid-19. Bahkan, para ahli pun mengeluarkan kemampuan terbaiknya untuk menemukan formlua demi melawan virus tersebut. Oleh karena itu, para ahli terus menemukan banyak penelitian terkait SARS-CoV-2. Nah, pada artikel berikut ini, kita akan merangkum hasil riset mengenai Covid-19.
Pasien Covid-19 rawat inap yang parah dikatakan sangat umum dengan gejala nerologis terakit saraf. Menurut The Annals of Clinical anda Transformation Nerology menyebutkan, bahwa gejala yang ditemukan bermacam-macam, mulai dari sulit berkonsentrasi, ingatan jangkan pendek, hingga kesulitan multitasking. Selain itu, peneliti juga menemukan, bahwa pasien virus Corona dapat terus mengalami gejala tersebut meski telah dinyatakan negatif.
Anosmia, atau disebut sebagai gangguan indra penciuman memang disebut-sebut sebagai salah satu gejala terjangkit virus Corona. Awal terinfeksi Covid-19, umumnya penderita akan merasakan sejumlah gejala, seperti demam, nyeri otot, menggigil, hingga sakit tenggorokan. Namun, hilangnya indra penciuman atau perasa, patut diwaspadai. Saat terinfeksi virus tersebut, Olfactoru Brokenness (OD) atau disfungsi olfaktorius, yang didefinisikan sebagai kemampuan mencium, akan berkurang atau terdistorsi selama mengendus atau ketika makan.
Biasanya, kondisi ini dilaporkan dalam kasus infeksi Covid-19 ringan atau tanpa gejala. Menurut laporan OD terkait hal ini, menggambarkan gangguan penciuman yang muncul secara tiba-tiba, bisa saja ini terjadi atau tidak disertai gejala lain. Hilangnya indra penciuman umumnya ditemukan pada pasien muda dan wanita. Jadi, ketika kamu merasakan gejala ini, sebaiknya segealah menghubungi dokter, agar mendapatkan penanganan lebih lanjut.
Fakta berikutnya ini dirilis dalam sebuah laporan studi baru “life Sciene”, yang dilakukan oleh peneliti Jepang menunjukkan, bahwa virus Corona ternyata dapat bertahan lebih lama di kulit manusia daripada virus influenza, loh. Dalam studi tersebut juga dijelaskan, jika virus tersebut dapat bertahan hidup pada sampel kulit manusia yang mati selama kurang lebih 9 jam.
Pada saat yang sama, jenis virus influenza A (IAV) bertahan di kulit manusia selama sekitar 2 jam. Meski demikian, mereka memastikan bahwa hand sanitizer dapat digunakan untuk membunuh kedua virus tersebut secara cepat. Oleh sebab itu, penting sekali menaati protokol kesehatan yang ada. Seperti sering mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum pun sesudah melakukan aktivitas. Namun, jika kamu sedang di luar rumah, dan sulit menemukan tempat untuk mencuci tangan, kamu bisa menggunakan hand sanitizer. Pastikan hand sanitizer selalu ada dalam tasmu, ya.
Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa obat Covid-19 hingga kini belum ditemukan. Akan tetapi, penelitian menunjukkan bahwa beberapa obat dapat bekerja secara efektif dalam melawan virus Corona, termasuk remdesivir. Remdesivir menjadi obat pertama yang mendapatkan perizinan darurat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) untuk digunakan pada pasien Covid-19.
Remdesivir buatan Gilead Sciences dapat menghambat replikasi virus baru dengan memasukkannya ke dalam gen virus baru. Semula, obat ini hanya digunakan sebagai antivirus untuk penyakit ebola dan hepatitis C. Namun, publikasi di New England Journal of Medicine menyebutkan, para peneliti memastikan remdesivir bermanfaat untuk mereka yang dirawat di rumah sakit akibat Corona.
Studi yang dilakuan di Brasil terkait pandemi Covid-19, berhasil menemukan hubungan antara penyebaran infeksi dan wabah demam berdarah di masa lalu. Penelitian menunjukkan, paparan penyakit yang ditularkan melalui nyamuk dapat memberikan kekebalan terdahap Covid-19. Reuters, 21 September 2020, menuliskan penelitian yang dipimpin Miguel Nicoleis, profesor Duke University membandingkan distribusi geografis kasus infeksi Covid-19 dengan penyebaran demam berdarah pada 2019 dan 2020.
Dalam penelitian tersebut disebutkan tempat-tempat dengan tingkat penyebaran yang rendah dan pertumbuhan kasus yang lambat, merupakan lokasi yang mengalami wabah demam berdarah hebat pada tahun ini maupun tahun lalu. Hal tersebut menyoroti hubungan yang signifikan antara insiden, kematian, dan tingkat pertumbuhan Covid-19 yang lebih rendah pada populasi di Brasil, di mana tingkat antibodi terhadap demam berdarah lebih tinggi.
Hasil tersebut sungguh menarik. Sebab, pada penelitian sebelumnya menunjukkan orang dengan antibodi demam berdarah dalam darahnya dapat memberi tes false positive atau positif palsu untuk antibodi Covid-19. Sementara, menurut penelitian dari Duke University, University of Sao Paolo, Federal University of Paraiba, dan Oswaldo Cruz Foundation menemukan semakin tinggi kasus DBD di masa lalu di lokasi geografis tertentu, semakin rendah jumlah kasus infeksi Covid-19.
Jadi, itulah studi terbaru terkait virus Corona yang semakin marajalela. Semoga saja obat untuk mengatasi Covid-19 segera ditemukan dan dapat digunakan di Indonesia. Agar kita dapat kembali bebas menghirup udara segar di luar rumah tanpa takut tertular virus tersebut. Tetap semangat dan selalu menjaga kesehatan!