Masyarakat Jawa memiliki penyebutan perempuan yang beragam. Menariknya, penyebutan tersebut memiliki makna yang mendalam, loh. Maka dari itu, pada artikel kali ini, Kami ingin membahas mengenai beberapa penyebutan perempuan dalam masyarakat Jawa beserta filosofinya. Pastinya kamu juga sudah penasaran, kan? Berikut ulasan selengkapnya.
Selain digunakan dalam bahasa Indonesia, wanita juga sering digunakan dalam tata penyebutan perempuan dalam bahasa Jawa. Meski cara penulisannya sama, tapi pelafalannya berbeda, yakni menjadi wanito. Dalam kreta basa Jawa, wanita terdiri dari dua unsur kata, yaitu wani (berani) ta: tata (tata atau teratur). Artinya, perempuan itu harus mau diatur, terlebih jika menyangkut norma-norma dan stigma dalam masyarakat.
Contohnya, perempuan tidak boleh keluar rumah ketika sudah larut malam, maka ia harus manut alias nurut. Atau ada pula konsep yang bernama pingitan yang sudah mengakar dalam budaya Jawa yang membuat perempuan tidak boleh melawan sekalipun tidak suka. Selain wanita harus nurut, mereka juga perlu berani dalam hal mengatur.
Artinya, perempuan harus bisa meng-handle semua urusan rumah tangga. Namun, secara lebih luas dan mendalam, unsur kata wani dan tata juga bisa diartikan bahwa wanita itu merupakan sosok yang multiperan. Sebab, ia tak hanya mampu mengatur urusan domestik saja, melainkan juga berani mengaktualisasikan diri.
Penyebuan perempuan dalam masyarakat Jawa berikutnya adalah wadon. Istilah ini diadopsi dari bahasa kawi ‘wadu’ yang artinya kawula atau abdi. Namun, wadon sering kali diartikan sebagai abdi bagi laki-laki atau suaminya. Alhasil, perempuan pun diwajibkan untuk taat pada apa pun yang diperintahkan oleh suaminya, asalkan perintah tersebut baik. Jika surga laki-laki ada di bawah telapak kaki ibunya, maka surga perempuan adalah ridha suaminya. Makna yang satu ini memang terkesan patriakal.
Namun, dalam pemaknaan yang lebih luas dan seimbang, makna ‘abdi’ bagi perempuan juga bisa merujuk pada dedikasi atas setiap hal yang mereka lakukan. Contohnya, pekerjaan yang tidak jarang menjadi passion hidup, atau saat perempuan sudah menjadi ibu dan mengabdikan diri untuk mengurus serta mendidik anak-anaknya. Rasanya tak berlebihan jika ‘abdi’ yang seperti ini juga mendapat apresiasi dan penghargaan.
Kata estri diambil dari bahasa kawi ‘estren’ atau ‘pangestren’ yang artinya pendorong. Sebuah ungkapan “Di balik laki-laki sukses, ada perempuan hebat” sepertinya cocok untuk menggambarkan istilah estri ini. Dari ungkapan tersebut menegaskan bahwa wanita sejatinya juga memiliki peran yang cukup penting.
Dalam konteks rumah tangga, dia juga memiliki andil dalam mendorong suaminya untuk membantu mempertimbangkan banyak hal dan mengambil keputusan yang terbaik dalam problem tertentu. Mulai dari pendidikan, perekonomian, sampai politik, perempuan mampu menjalankan peran sesuai kapasitasnya. Baik sebagai pendukung di balik layar ataupun tampil langsung dan bekerja sama dengan laki-laki.
Penyebutan perempuan dalam masyarakat Jawa berikutnya yakni putri. Secara harfiah, putri berarti anak perempuan. Sedangkan dalam kawruh basa yang dikonsepkan oleh masyarakat Jawa. Biasanya, istilah putri ini disandingkan dengan akronim putus tri perkawis. Penyandingan istilah ini kerap merujuk pada makna kedudukan perempuan yang dituntut untuk merealisasikan tiga kewajiban wanita (tri perkawis), yaitu sebagai wanita, wadon, dan estri.
Kedua istilah ini biasanya disematkan oleh wanita yang sudah menikah alias menjadi istri. Kanca sendiri memiliki arti teman dan wingking artinya belakang. Kemudian, dipahami dengan konsep teman di belakang yang linier dengan status istri sebagai makmum laki-laki. Meski kerap diartikan dalam strata kedua, tapi sebenarnya perempuan sebagai kanca wingking juga lekat dengan peran pendorong dan pendukung yang selalu siap membantu baik berupa tenaga maupun pikiran.
Sedangkan garwa berasal dari kata gar: sigar (belahan) dan wa: nyawa (nyawa). Garwa, yang juga identik dengan istri, kemudian memiliki makna sebagai belahan jiwa. Dalam hal ini, wanita memegang peran yang setara dengan laki-laki dan menjadi teman hidup yang sejiwa.
Itulah lima penyebutan perempuan dalam masyarakat Jawa beserta filosofinya. Meski melekat dengan konsep budaya patriarki, tapi dalam perkembangan di era modern ini perempuan menjalani peran yang terbilang sentral dan setara.