Kain sarung bagi orang Indonesia, terutama pria, merupakan benda yang cukup penting. Hampir setiap pria Indonesia, khususnya yang beragama Islam, pasti memiliki setidaknya satu lembar kain ini.
Bagi orang Indonesia, keberadaan kain ini beragam sesuai penggunaannya; mulai yang dianggap penting misalnya untuk kegiatan kegamaan, hingga dipakai untuk kegiatan sehari-hari misalnya sebagai pengganti selimut saat tidur atau menjadi pakaian santai pengganti celana. Penggunanya pun sebenarnya tidak hanya lelaki, perempuan pun menggunakannya.
Lalu, apakah kain sarung sebenarnya? Dan bagaimanakah sebenarnya asal muasal munculnya kain sarung di Indonesia? Berikut adalah ulasan singkatnya.
Kain sarung menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kain panjang yang pada tepi pangkal dan ujungnya dijahit berhubungan. Sementara itu, menurut Wikipedia Indonesia, sarung (kain) merupakan sepotong kain lebar yang dijahit pada kedua ujungnya sehingga berbentuk seperti pipa atau tabung.
Kata ‘sarong’ atau sarung sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Melayu yang artinya penutup. Itulah pengertian kain sarung di Indonesia.
Secara internasional, sarung atau ‘sarong’ merupakan sepotong kain lebar yang pemakaiannya dibebatkan pada pinggang untuk menutup bagian bawah tubuh, terlepas apakah kain ini dijahit berhubungan mau pun tidak.
Baca juga: NAMA-NAMA PAKAIAN ADAT BALI
‘Sarong’ sering dikaitkan dengan selembar kain berwarna cerah, seperti pink dan oranye; kebanyakan dipakai wanita terutama di Amerika dan Eropa, ketika bersantai di tepi pantai saat musim panas. Material atau bahan kain sarung sendiri beragam, yaitu katun, poliester, dan sutera.
Menurut berbagai sumber, berdasarkan catatan sejarah, sarung pada awalnya digunakan oleh suku Badui di Yaman. Tidak seperti sarung yang beredar saat ini, kain dari Yaman yang disebut ‘futah’ ini berasal dari kain putih yang dicelupkan ke dalam neel, bahan pewarna yang berwarna hitam.
Penggunaan sarung kemudian meluas ke Semenanjung Arab. Di dunia Arab, kain ini dikenal juga dengan nama wazaar atau ma’awis, izaar di Arab Saudi atau wizaar di negara Oman.
Sedikit berbeda dengan di Indonesia, penggunaan kain ini di dunia Arab bukanlah pakaian yang diidentikkan untuk melakukan ibadah seperti sholat.
Bahkan, di Mesir, sarung berfungsi sebagai baju tidur yang hanya dipakai saat di kamar tidur saja sehingga sarung dianggap tidak pantas dipakai ke masjid maupun untuk keperluan menghadiri acara-acara formal dan penting lainnya.
Jika Anda sedang berada di Mesir dan bersikeras untuk menggunakannya ke masjid, bersiaplah untuk dipandang geli oleh penduduk setempat.
Tidak hanya meluas ke Semenanjung Arab, kain ini menyebar bahkan hingga ke Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, Amerika, dan Eropa. Di India Selatan, kain jenis ini disebut mundus, biasanya dipakai untuk kegiatan upacara keagamaan.
Di Afrika Timur, sarung yang dipakai oleh lelaki disebut kangas, sementara untuk perempuan disebut kikois. Di Sri Lanka, kain ini biasanya dipakai oleh pria dari kelas bawah.
Di Asia Tenggara, sarung biasanya terbuat dari kain tenunan pabrik dengan lebar sekitar 100 cm dan panjang kelilingnya bisa mencapai hingga 220 cm. Pemakaiannya bermacam-macam, tergantung kebiasaan dan kegiatan.
Ada yang memakainya di bawah ketiak, biasanya perempuan, ada juga yang memakainya di pinggang dengan panjang hingga mata kaki atau hanya selutut.
Untuk Indonesia sendiri, diperkirakan kain ini masuk pertama kali pada abad ke-14 yang dibawa oleh saudagar dari Arab dan Gujarat, India. Dalam perkembangan selanjutnya, kain sarung menjadi identik dengan kaum Muslim karena biasa dipakai untuk shalat.
Baca juga: Makna Kehidupan dari Selembar Kain Ulos
Lelaki biasanya memakai baju koko dengan bawahan sarung, sementara perempuan biasanya memakai atasan mukena dan bawahan sarung.
Kain sarung yang lekat dengan muslim, khususnya para santri, pernah menjadi simbol perjuangan melawan budaya barat pada masa penjajahan Belanda. Salah satu tokoh yang terkenal mempertahankan sarung sebagai budaya bangsa ialah KH Abdul Wahab Hasbullah, seorang tokoh penting Nahdhatul Ulama (NU).
Ia terkenal dengan kisahnya yang menghadiri acara kenegaraan dengan memakai jas dan bawahan sarung, padahal sebelumnya ia telah diberitahu oleh protokoler kepresidenan untuk menggunakan jas dan celana panjang.
Seperti kita ketahui bersama, ada banyak motif kain sarung yang beredar di masyarakat. Berikut adalah beberapa jenis dan ciri khas sarung yang cukup terkenal di Indonesia.
Pria Betawi asli biasanya memakai sarung bermotif kotak-kotak dengan warna yang lembut, meskipun sebenarnya ada juga motif yang lain.
Kain sarung ini biasa dipakai melingkar di leher atau disampirkan di pundak seperti yang sering kita lihat pada acara-acara adat Betawi atau pada film-film yang menceritakan jagoan silat Betawi seperti Si Pitung atau Abang Jampang.
Disebut juga kain poleng, terbagi menjadi tiga jenis berdasarkan warnanya yaitu rwabhineda (hitam dan putih), sudhamala (putih, abu-abu, hitam), dan tridatu (putih, hitam, merah). Kain ini merupakan bagian dari kehidupan religius umat Hindu di Bali.
Tidak hanya dipakai di tubuh, kain ini juga digunakan sebagai hiasan terutama di pura diantaranya sebagai tedung (payung), umbul-umbul, untuk menghias palinggih (tugu), patung, dan kul-kul (kentongan), dan untuk melilit pepohonan.
Kain ini dipasok dari empat daerah masing-masing Majene, Polewali, Wajo dan Soppeng. Namun, yang terkenal baik lokal maupun mancanegara ialah kain yang berasal dari Wajo karena memiliki corak dan kualitas yang lebih unggul daripada produksi dari daerah lain.
Awalnya kain sarung ini diproduksi secara manual dan tradisional. Namun, karena mengejar waktu, akhirnya beberapa perajin lebih memilih alat tenun mesin daripada alat tenun bukan mesin.
Sarung ini terbuat dari benang sutra yang berasal dari China yang kemudian diolah dan ditenun menjadi kuat dengan menggunakan alat tradisional yang disebut “gedokan” atau menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) dengan memakan waktu sekitar tiga minggu. Kebanyakan perajinnya adalah suku Bugis yang tersebar di kelurahan Baqa dan Masjid.
Awalnya kain ini dipakai di dalam bentuk selendang atau sarung saja, kerap digunakan pada perhelatan resmi atau upacara adat Batak. Warna dominan ulos adalah merah, hitam, dan putih yang dihiasi oleh ragam tenunan dari benang emas atau perak.
Setiap ulos masing-masing mempunyai ‘raksa’ atau sifat, keadaan, fungsi, dan hubungan dengan hal atau benda tertentu. Ulos sangat erat dengan kehidupan orang Batak dan dianggap sebagai pengikat kasih sayang diantara sesama.
Kain sarung yang ditenun dengan tradisional ini terkenal dengan kualitas benangnya yang baik serta kaya motif dan corak yang memiliki nilai seni yang tetap memperlihatkan ciri khas natural berupa motif kembang dan hiasan alam lainnya.
Motif dan corak khas kain ini ialah warnanya timbul dengan corak beragam diantaranya corak kembang, garis-garis, gunungan, hingga corak laut biru dengan tiga bahan kain yaitu sutera, fiber, dan sisir 70.
Kain sarung ini tidak hanya beredar di kawasan Indonesia saja, namun sudah mencapai Afrika dan Timur Tengah. Sarung tenun ini berasal dari desa sederhana bernama desa Troso di Kecamatan Pecangaan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Kain tenun khas Donggala ini memiliki corak yang beragam diantaranya palekat garusu, buya sabe, serta kombinasi bomba dan sabe dengan waktu pengerjaan dua minggu saja. Sementara corak buya bomba merupakan yang paling sulit dengan waktu pengerjaan sekitar dua bulan.
Kain sarung ini dapat ditemukan di sepanjang Limboro, Salu Bomba, Tosale, Towale dan Kolakola di sebelah barat Kota Donggala.
Demikianlah pengertian, asal muasal, serta jenis dan ciri khas kain sarung di Indonesia. Semoga dapat menambah wawasan kita semua.