Penjajahan Pemerintah Belanda tak lepas dari sejarah kebangkrutan VOC yang sebelumnya membuka industri dagang di Nusantara. Pada akhir abad ke-18 tepatnya pada tahun 1816, yaitu abad kebangkrutan VOC di Nusantara dan setelah kekuasaan singkat Britania di bawah pimpinan Thomas Stanford Raffles, pemerintah Belanda mengambil alih kepemilikan VOC.
Cultuurstelsel atau sistem Tanam Paksa mulai diterapkan pada tahun 1830. Dalam sistem ini, para rakyat pribumi dipaksa menanam hasil-hasil perkebunan yang menjadi permintaan pasar dunia, seperti teh, kopi dan lain-lain. Hasil perkebunan itu kemudian diekspor ke berbagai negara.
Sistem Tanam Paksa ini membawa kekayaan yang besar kepada para pelaksananya, baik pihak Belanda maupun orang Indonesia yang menjadi pemilik tanah, namun tidak bagi para pekerjanya. Para pekerja Tanam Paksa dirampas hak-hak kebebasannya untuk bekerja tanpa henti.
Baca juga: Kekuasaan Kongsi Dagang VOC Masa Kolonialisme dan Imperialisme
Kemudian, Tanam Paksa mendapat kecaman melalui perdebatan parlemen Belanda, juga tulisan-tulisan yang mengkritik terang-terangan praktik tidak manusiawi itu. Hingga pada tahun 1870 setelah empat puluh tahun pelaksanaan Tanam Paksa, Belanda memperoleh keuntungan sebesar 823 juta gulden.
Keuntungan ini digunakan untuk membangun perdagangan dan pelayaran yang lumpuh, membangun industri yang macet, dan memperkaya pemilik pabrik.
Politik Kolonial Liberal (1870-1900)
Kemajuan perdagangan Belanda diperoleh dari keuntungan penjualan hasil perkebunan Tanam Paksa. Keuntungan itu dimanfaatkan Belanda untuk memajukan bidang industri, pelayaran dan perbankan.
Pihak Belanda menikmati hasilnya, sementara penduduk menderita karena beratnya pelaksanaan Tanam Paksa. Golongan liberal kemudian berupaya mengadakan perubahan, antara lain dengan mengeluarkan peraturan anggaran dalam Undang-Undang.
Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah tahun 1854 maka politik kolonial diatur secara liberal. Penyelewengan dan penekanan mulai berkurang, termasuk praktik Tanam Paksa yang ikut dihapuskan.
Ide liberal mendorong usaha perseorangan. Pemerintah tidak berhak ikut campur tangan. Tanam Paksa kemudian diganti dengan sistem kerja bebas.
Kepentingan politik liberal membawa dampak ekonomi di koloni dengan didirikannya infrastruktur dan keuntungan pun diperoleh dengan mudah. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria tahun 1870, maka politik liberal diberlakukan.
Undang-undang ini pada dasarnya melarang penjualan tanah kepada orang asing, tetapi mereka hanya diperkenankan menyewanya dalam waktu 75 tahun.
Baca juga: Perburuan Mutiara Dari Timur Masa Kolonialisme dan Imperialisme
Politik Kolonial Etis (1900-1942)
Van Deventer, seorang tokoh liberal Belanda, mengatakan bahwa Indonesia telah berjasa membantu pemerintah Belanda memulihkan keuangannya. Dalam majalah De Gids terbitan Belanda, van Devender menyebutkan bahwa jutaan gulden yang diperoleh Belanda dari bumi Nusantara itu merupakan Een Ereschuld (utang kehormatan).
Menurutnya, Belanda berutang kepada bangsa Indonesia atas keuntungan yang diperoleh dari hasil eksploitasi kekayaan Nusantara yang begitu besar. Oleh sebab itu sudah sewajarnya jika kebaikan orang Indonesia itu dibayar kembali.
Menurut Van Deventer, utang budi itu harus dibayar dengan peningkatan kesejahteraan melalui trias politica atau politik etis (Ethische Politiek) yang terdiri dari:
1. Irigasi (pengairan), yaitu dilakukan pembangunan irigasi untuk mengairi sawah-sawah milik rakyat pribumi guna meningkatkan kesejahteraan penduduk.
2. Edukasi (pendidikan), yaitu memberikan pendidikan kepada rakyat pribumi sehingga nantinya dapat dihasilkan manusia-manusia terpelajar dan kaum intelektual yang berkualitas.
3. Migrasi (perpindahan penduduk), yaitu melakukan perpindahan penduduk. Ini ditujukan agar pemerataan tempat tinggal penduduk dapat tercipta.
Tulisan Van Deventer dan para pengecam dari kelompok politisi liberal lainnya seperti Van dedem, Van kol, De Waal, dan Van den Berg, ternyata berpengaruh besar. Hingga pada tahun 1901, ratu Wilhemina mengumumkan pernyataan bahwa diperlukan suatu penyelidikan terhadap kesejahtraan rakyat Jawa.
Van Deventer kemudian dikenal sebagai Bapak Pergerakan Politik Etis. Van Deventer benar-benar menempatkan kesejahtraan rakyat pribumi di atas kepentingan yang lain. Ia juga menjadi penentang kemiskinan akibat Tanam Paksa yang terjadi di Jawa.
Penerapan Politik Etis
Kebijakan politik etis yang diajukan oleh van Deventer adalah suatu gagasan yang baik. Namun, dalam penerapannya ternyata tidak sejalan dengan apa yang digagaskan. Banyak terjadi penyimpangan dan penyelewengan terhadap sistem trias politika oleh para pegawai kolonial Belanda.
Bentuk penyimpangan dan penyelewengan tersebut antara lain:
1. Irigasi
Oleh pegawai kolonial belanda, sistem irigasi yang tidak diberlakukan secara adil dan merata. Irigasi yang seharusnya ditujukan untuk penduduk malah dialirkan ke tanah-tanah yang subur saja dan sebatas untuk perkebunan milik Belanda. Sementara itu tanah penduduk tidak mendapat pengairan.
2. Edukasi
Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah, namun bukan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Tujuan sebenarnya adalah untuk mendapatkan keuntungan sendiri. Sekolah-sekolah yang telah didirikan hanya diutamakan bagi anak-anak pegawai pemerintahan dan orang-orang yang berasal dari golongan berada. Di sini terjadi diskriminasi pendidikan.
3. Migrasi
Migrasi penduduk ke daerah luar Jawa yang masih jarang penduduknya hanya dilakukan ke daerah-daerah perkebunan swasta yang dimiliki Belanda. Ini bertujuan agar penduduk yang bermigrasi ini dapat menjadi pekerja perkebunan tersebut.
Pendidikan Rakyat Pribumi
Melalui penerapan politik etis, khususnya bidang pendidikan, rakyat pribumi yang memperoleh pendidikan bukan hanya mendapatkan ilmu pengetahuan barat. Kesadaran mereka sebagai bangsa juga meningkat.
Dari kalangan terpelajar ini kemudian muncul tokoh-tokoh pergerakan nasional. Tokoh-tokoh inilah yang kemudian mempelopori berbagai organisasi pergerakan nasional untuk memperjuangkan nasib bangsa.
Bangunnya rakyat terjajah dan penolakan terhadap hubungan kolonial disebut nasionalisme yang memiliki unsur-unsur kebangunan politik, ekonomi, sosial, kultural dan religius. Unsur-unsur itu semua dikembangkan untuk mencapai pembaharuan ke arah kemandirian dan kesatuan bangsa.
Sehubungan dengan lahirnya Budi Utomo yang dianggap sebagai manifestasi lahirnya jiwa nasionalisme, maka jelas kiranya bahwa kekuatan dari dalam masyarakat itu sendiri yang memberi kekuatan dan pergaulan hidup kolonial itulah yang memberi corak nasionalisme Indonesia.
Pengaruh politik etis sedikit demi sedikit membawa perubahan ke arah perbaikan nasib dan usaha untuk melepaskan dari dari belenggu penjajahan, meskipun tidak dapat diingkari bahwa kaum etikus sebenarnya adalah para kapitalis yang menginginkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan meningkatkan daya beli dan kesejateraan penduduk Indonesia. Lahirnya organisasi pergerakan nasional merupakan tanda dan dorongan tamatnya sejarah politik etis.
Pendidikan kolonial yang menekankan perlunya perluasan pendidikan anak-anak bumiputera setelah pertengahan abad XIX dirintis oleh Fransen van der Putte. Dikatakannya bahwa pengajaran yang sudah berjalan hanya untuk memenuhi kebutuhan aparatur kolonial, tetapi yang terpenting adalah melalui pengajaran yang akan memajukan penduduk bumiputera.
Maka diperlukan suatu pengajaran untuk anak-anak pribumi, tidak hanya anak-anak penguasa saja. Dengan begitu, anak-anak pribumi yang telah mendapatkan pendidikan dapat membantu pemerintahan kolonial.
Dengan adanya pendidikan untuk bumiputera, maka muncullah elite-elite baru pendidikan yang semestinya menduduki jabatan dalam birokrasi kolonial, tetapi tempat mereka telah diambil oleh orang-orang Belanda.
Mereka kemudian membuka usaha baru yang brsifat swasta, karena mereka merasa dengan bekerja kepada pemerintah kolonial berarti mereka mengabdi pada penjajah.
Dengan usaha baru tersebut masyarakat pribumi dapat menegakkan prinsp berdiri di atas kaki sendiri. Elite baru berusaha mendapat tempat di hati masyarakat.
Sebagai kekuatanm sosal politik baru pada mulanya pemerintah belum banyak memberikan perhatian. Akan tetapi ternyata mereka ini adalah pendukung semangat kebangsaan dan dari merekalah semangat nasionalisme berkembang.
Tahun 1940 merupakan awal pecahnya Perang Dunia II. Oleh karena Belanda berhasil diduduki Nazi Jerman, Belanda pun mengumumkan keadaan siaga dan mengalihkan ekspor ke Amerika Serikat dan Britania.
Negosiasi dengan Jepang mengenai pengamanan bahan bakar pesawat tidak membuahkan hasil. Jepang mulai melakukan penaklukan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Dibantu oleh pasukan Jepang, faksi dari Sumatera melakukan penyerangan terhadap pemerintahan Belanda hinga akhirnya pada Maret 1942, Belanda menyerah dan kembali dari Nusantara karena kalah oleh pasukan Jepang.